CATATAN DARI VENEZIA
“Kalau nanti sampeyan dapat deviden 1 Milyar dari bisnis kita yang ini, duitnya mau dibelikan apa bos?,” tanya kolega saya pagi ini dengan nada iseng!
Pertama, saya bilang amin. aminnnn yarabbal alaminn. Semoga diijabah. Semoga itu cepat jadi kenyataan. Kedua, karena masih jika maka jawabannya juga pake kata kalau.
“Jadi, kalau duit itu sudah di tangan. Maka akan saya pakai untuk dua hal saja. Pertama, yang 100 juta buat anggaran beli buku dan raknya. Kedua, sisanya yang 900 juta buat jalan-jalan keliling dunia! Kalau mungkin ya ke seluruh dunia, mulai kutub utara hingga kutub selatan kalau ada,” jawabku serius, tidak pakai canda!
“Lho, cuma gitu. Nggak pengen beli rumah yang lebih bagus atau mobil yang terbaru gitu?” ujarnya menyelidik.
Nggaklah lah bos. Passionku bukan di rumah atau mobil. Rumah udah punya. Rumah buatku yang mungil saja. Tapi lapang. Nggak pengen punya rumah yang besar tapi sempit, nggak lapang sama sekali, apalagi yang pintunya ditulisi: awas anjing galak, hanya yang berkepentingan yang boleh masuk! Duuuuuhhhh…!
Sampeyan tahu, saat kita ada di Venezia ini, rumahku bisa didatangi dan ditiduri banyak orang yang aku tidak tahu berapa atau siapa saja. Rumahku nggak kukunci, siapa saja boleh tidur atau mampir ke rumah. Entah sekedar silaturahmi atau berdiskusi mencari solusi atas masalahnya. Pokoknya pulang hatinya bisa jadi lapang. Itu saja pengennya fungsi rumah; bisa jadi tempat berteduh siapa saja!
Passionku itu cuma di buku dan travelling. Berburu buku adalah petualangan yang sangat mengasyikkan. Sama halnya dengan berburu tempat-tempat baru. Itu juga petualangan yang sangat mengasyikkan dan mendatangkan kepuasan yang tak terkira.
“Lah, kan uangnya habis begitu saja. Cuma jadi tumpukan kertas dan foto-foto doang. Nggak sayang tuh?”
Saya justru sayang kalo duit hanya dibelikan tumpukan material dan jadi benda mati. Buku itu keliatannya hanya tumpukan kertas. Tapi sebetulnya tidak. Ada ilmu di dalamnya. Ada wawasan dan pengalaman dibalik deretan hurufnya. Bagiku itu justru harta yang sangat berharga, tak lekang oleh waktu, dan tak ternilai harganya.
Begitu juga perjalanan. Traveling. Keliatannya saja itu buang-buang uang. Tapi bagiku justru bukan. Traveling itu membeli pengetahuan dan pengalaman. Hal yang terpenting bagi hidup.
Duitnya memang ilang. Tapi tidak energinya. Energi traveling itu akan menjadi harta yang tak pernah hilang, tersimpan kuat dalam ingatan. Uang adalah energi. Pengalaman, wawasan, pengetahuan, petualangan, adalah energi juga. Mereka hanya bertukar tempat saja
Energi itu abadi.
Duit kalau cuma disimpan doang tidak akan menghasilkan apa-apa. Malah ntar jadi rebutan. Kalau dipinjamkan ke teman juga bakal merusak pertemanan karena susah baliknya. Duit kalau dibelikan rumah juga bakal jadi sarang hantu, kalau nggak ditempati atau nggak sering-sering kedatangan tamu!
Tapi kalau duit satu M saya belikan pengalaman dengan cara traveling sampai ujung dunia, maka ingatan dan kepalaku ini akan penuh dengan jutaan cerita. Pengetahuan, pengalaman, wawasan, ilmu. Karena menginjak satu negara berarti menambah minimal satu ilmu.
Pengetahuan, wawasan, pengalaman yang berjibun itu tidak akan hilang dari kepalaku. Bahkan, jika kubagi-bagi kepada puluham atau ratusann orang pun semua pengalaman hidup itu, satu pun nggak ada yang hilang dari otak dan ingatanku. Pengetahuan adalah harta abadi, yang tidak bisa dicuri orang, yang nggak. akan habis jika dibagi ke semua orang, berapapun jumlahnya.
Jadi, kalau kita nanti sama-sama dapat satu M dari final bisnis yang ini, sampeyan mau apa nih? Mau beli mobil baru, mau beli rumah lagi, atau mau ikutan saya keliling dunia, minimal 100 negara?
Atau, mau kawin lagi sampeyan?
Dan kami pun tertawa terbahak.
Sekian dulu catatan pertama dari Venezia ya. Kita mau jalan lagi soalnya. Mengunjungi Islamic Center of Venezia dan Masjid Jamik Maestre Venezia sambil berburu nasi biryani.