Miris. Itulah yang terlintas di pikiranku saat membaca berita yang tengah hits belakangan ini. Hampir semua BUMN merugi. Setidaknya ada 23 BUMN yang kerugiannya cukup ngeri. Bahkan ada BUMN yang terlibat membuat pelaporan keuangan fiktif demi gaya ABS, yang beruntungnya kemudian terbongkar. Cerita-cerita korupsi di BUMN juga tidak sedikit sampai ke telinga kita.
Selama pandemi covid ini saja konon BUMN boro-boro bergerak untuk menyumbang untuk program pengendaliannya, yang terjadi justru malah minta disuntik pemerintah dengan dana segar hingga 150 T agar tidak kolaps. Sementara Muhammadyah sudah menyumbang lebih dari 120 M berupa APD, sembako untuk yang terdampak, dan fasilitas lain yang dibutuhkan paramedis. Nggak mikir bahwa BPJS saja masih utang ratusan milyar ke rumah sakit Muhammadyah.
Sebagai warga negara dan orang awam tentu kita boleh bertanya-tanya: mengapa BUMN yang dimodali atau disuntik dengan uang negara itu kok bisa merugi? Padahal, yang berada di dalamnya katanya orang-orang pinter dan expert di bidangnya sehingga layak mendapatkan gaji puluhan bahkan ada yang ratusan juta per bulan. Support system yang diberikan pemerintah juga bukan soal suntikan modal saja, tapi banyak fasilitas yang lainnya. Orang kemudian secara bodoh bisa bertanya: kenapa bisa?
Di sisi yang lain, sebagai warga Muhammadyah, kadang saya membandingkan antara apa yang dialami oleh BUMN itu dengan yang terjadi di Badan Usaha Milik Muhammadyah (BUMM). Yang satu dilaporkan selalu merugi, sedangkan satunya tidak pernah ada laporan kerugian. Bahkan kalau dihitung secara aset, Muhammadyah kini punya aset lebih dari 350 triliun atau setara dua kali lipatnya aset sebuah bank terbesar di negeri ini.
Yang unik lagi malah ada semacam BUMN yang disupport pemerintah yang punya hutang pada Muhammadyah. Angkanya nggak main-main. Satu trilyun lebih. Ya, BPJS konon masih punya utang ke rumah sakit Muhammadyah sekitar 1,2 T. Informasi terakhir katanya tinggal 860 milyar. Tapi angka yang masih besar juga. Entah kapan mau dilunasi.
Muhammadyah memang organisasi tua, sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan alias Mohamad Darwis di kampung Kauman, Yogyakarta, 18 November 1912. Jadi, sudah berapa puluh tahun ya? Hemmm, seabad lebih ya! Hampir sama dengan usia Unelever yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Dan sama-sama masih eksis sampai sekarang. Nggak pernah ngomong mengalami kerugian sekian, apalagi TT-an.
Padahal, kalau dilihat dari jumlah anggotanya, sebetulnya tidak terlalu besar juga. Warga Muhammadyah jika berdasarkan data yang tercatat dan memiliki NIBM, jamaahnya paling hanya sekitar 30 jutaan saja. Kalau dibandingkan dengan organisasi NU misalnya, ya belum ada seperempatnya. Tapi, meskipun begitu, perjuangan dan dakwah warga Muhammadyah untuk membesarkan organisasi sangatlah kuat dan solid.
Itulah sebabnya menjadi tidak mengherankan jika amal usaha Muhammadyah ada di mana-mana. Bahkan ada di daerah yang warga Muhammadyahnya sangat sedikit, seperti Universitas Muhammadyah di Kupang atau Universitas Muhammadyah di Papua yang masyarakatnya mayoritas justru nonmuslim. Muhammadyah memang beramal untuk semua, bukan hanya untuk orang Islam saja. Tapi untuk bangsa! Tanpa harus mengklaim diri lewat prasasti atau SK berjuang untuk negeri.
Meski jamaahnya tidak terlalu banyak, tapi amal usaha Muhammadyah boleh dibilang sangat banyak. Setidaknya mempunyai 7.600 sekolah dan 175 kampus yang eksis, bahkan meskipun statusnya swasta seringkali menjadi pilihan favorit orang tua siswa. Punya hampir 500 rumah sakit PKU Muhammadyah di berbagai kota yang sehat baik secara manajemen maupun finansialnya.
Bukan itu saja, Muhammadyah juga punya banyak lembaga sosial untuk mengayomi kaum dhuafa. Setidaknya tercatat hampir 500 panti asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabilitasi anak cacat. Yang semuanya juga eksis dengan membiayai dirinya sendiri tanpa berharap bantuan dari pihak mana pun. Juga tidak berharap pada bantuan dari pemerintah.
Karena prinsip organisasi amal sosial Muhammadyah ini sejak awalnya justru ingin menjadi tangan di atas yang bisa mengayomi kaum marginal. Kalau toh ada sumbangan dari pihak lain, itu pun inisiatifnya datang dari mereka sendiri. Bukan karena mengedarkan proposal kesana kemari, tapi memang pilihan orang yang bersangkutan untuk mengirimkan bantuannya ke amal sosial Muhammadyah.
Saya membayangkan, andai BUMN di Indonesia yang setiap tahunnya merugi itu, padahal pengelolanya digaji puluhan hingga ratusan juta, seperti Ahok sebagai Komisaris Pertamina yang konon gajinya bisa tembus 300 juta, mungkin kejadiannya akan berbeda. Artinya, tidak rugi terus, tidak minta suntikan modal terus, bahkan bisa jadi dana CSR yang dikembalikan ke masyarakat akan makin membesar terus. Makin banyak kegiatan yang bisa dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia lewat dana CSR, bukan sekedar kegiatan seremonial belaka.
Mengapa amal usaha Muhammadyah tidak pernah merugi? Padahal tidak pernah berharap pada bantuan pemerintah atau meminta iuran wajib anggotanya setiap bulan seperti di BPJS itu? Sementara BUMN yang disupport habis-habisan oleh APBN, dukungan legislasi, SDM terbaik, dan fasilitas yang lengkap justru kebanyakan laporannya rugi terus? Boleh tanya ke warga Muhammadyah pernah enggak diminta iuran bulanan kayak BUMN yang itu? Di Muhammadyah itu kulturnya kesadaran diri. Kesadaran untuk selalu bersedekah, infaq, zakat, wakaf, tanpa paksaan siapapun. Satu-satunya alasan hanyalah karena takwa dan ridha ilahi. Soal rezeki sudah dijamin sama Yang Di Atas.
.
Tentu ada banyak jawaban panjang lebar yang bisa dipaparkan untuk menjawab pertanyan-pertanyaan itu. Baik penjelasan yang sifatnya akademik maupun praksis. Tapi, sebagai orang awam dan warga Muhammadyah, tentu kita bisa melihat dan menjelaskannya dengan bahasa yang sederhana saja. Mengapa BUMM terus tumbuh dan tidak pernah merugi meski hanya memakai SDM Muhammadyah sendiri yang sebetulnya juga terbatas itu?
Pertama, tentu karena niat awalnya. Sebagai organisasi Islam tentu yang digunakan adalah prinsip-prinsip Islam. Innama akmalu binniyat. Segala sesuatu harus dipastikan niatnya. Karena niat itu meskipun letaknya di awal tapi akan menentukan hasil akhir. Salah di niat, maka akan salah juga di hasil. Bagi warga Muhammadyah niat utama beraktivitas di Badan Usaha Muhammadyah adalah mencari Ridlo Allah SWT. Menempatkan Sang Pencipta di atas segalanya. Bukan sekedar di atas kertas. Tapi diucapkan dengan lisan, ditancapkan di dalam hati dan diwujudkan dalam tindakan. Orientasi utama adalah pahala. Ridla Ilahi. Memburu akherat, surga yang dijanjikan. Oleh karenanya, apa yang dilakukan selalu diniatkan untuk kebaikan. Karena keyakinan bahwa setiap kebaikan yang dilakukan akan berbuah kebaikan bahkan keberkahan.
Kedua, memegang teguh prinsip yang dicanangkan Founder Muhammadyah KH Ahmad Dahlan: hidup-hidupkanlah Muhammadyah, jangan mencari hidup di Muhammadyah. Semua warga Muhammadyah tahu dan paham wasiat utama pendiri Muhammadyah ini. Sejak kecil kaidah itu sudah diajarkan oleh para orang tua dan terus terngiang hingga dewasa. Bukan sekedar untuk dijadikan dogma. Tapi dijadikan panduan dalam praktik kehidupan. Baik dalam berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang intinya, warga Muhammadyah jangan sampai menjadi parasit, tapi harus bisa menjadi manfaat di mana pun posisinya. Itulah sebabnya organisasi amal usahanya bisa terus bertumbuh karena tidak ada yang ingin menjadi parasit di dalamnya.
Ketiga, mengedepankan profesionalisme di segala lini. Muhammadyah dengan ribuan amal usahanya selalu menerapkan standar profesional dalam menempatkan orang. Standar dan parameternya jelas.Tidak ada like and dislike. Tidak ada istilah darah biru mendapatkan previllege. Setiap orang akan ditempatkan pada keahliannya. Meskipun darah keturunan Kiai Ahmad Dahlan jika tidak punya kompetensi apa-apa ya tidak akan diberi posisi dan tanggung jawab apa-apa. Sebaliknya, meski bukan anaknya siapa-siapa, asal punya kapasitas dan kompetensi yang mumpuni tanpa ragu Muhammmadyah akan memberikan kepercayaan padanya. Dengan tanggung jawab sepenuhnya. Asal tetep ingat, semua untuk berhikmat pada Muhammadyah dengan segala visi misi dan prinsipnya.
Muhammadyah percaya bahwa jika pekerjaan tidak diserahkan pada ahlinya maka akan menghancurkan semuanya. Mengapa percaya ini? Ya karena yang bicara Rasulullah. Ini hadits Nabi. Standar apalagi yang akan dijadikan sebagai kaidah menjalankan sebuah amal usaha kalau bukan prinsip-prinsip dari yang dikatakan Nabi Muhammad? Yang itu pasti benar dan selalu terbukti kebenarannya.
Jadi, sebagai orang awam bolehlah berandai-andai. Ya andai BUMN itu dipegang dan dikelola dengan cara Muhammadyah (BUMM) mengelola semua amal usahanya, saya yakin tidak akan ada berita atau cerita BUMN akan merugi. Apalagi semuanya disupport oleh negara, dari berbagai lini. Jadi, malah tinggal menjalankannya saja dengan penuh amanah dan transparansi. Jika itu dilakukan maka BUMN akan untung, negara akan untung, masyarakat akan untung karena aliran CSR kian besar dan dirasakan manfaatnya untuk kesejahteraan rakyat.
Tapi, sekalai lagi, itu hanyalah andai. Dan sampai hari ini masih kita baca 23 BUMN masih tetap merugi. Padahal, di situ ada duit rakyat. Dan rakyat masih harus menanggung beban utangnya. Padahal komisaris dan direkturnya digaji ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Kalau di kultur Muhammadyah, jika ada yang merasa tidak becus diberi tanggung jawab, otomatis akan mengundurkan diri dengan sendirinya. Angkat bendera putih. Malu! Malu pada organisasi, malu pada jamaah, malu sama Gusti Allah. Bahkan malu pada diri sendiri. Pertanda masih harus Iqra. Harus belajar lagi lebih banyak!
Jadi, budaya malu itu masih ada di negeri ini. Setidaknya di Muhammadyah! Itu salah satu yang membuatku bangga menjadi warga Muhammadyah*Among Kurnia Ebo
.
Teriring salam sang surya buat para senior; Asep Purnama Bahtiar, Taufik Ridwan, Izzul Muslimin, Wahyudi Nasution, Sri Lestari Linawati, Asykuri ibn Chamim, Deni Al Asy’ari Faqin Haikal Nafiq Hariawan Agung PWay Aryo Diponegoro