Bertandang ke KBRI,
Tidur Siang di Masjid Zagreb
Setelah selesai belanja souvenir di pasar tradisional Zagreb pagi-pagi sehabis srapan di hotel, akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki menuju KBRI Kroasia. Berdasarkan petunjuk google maps, tempatnya tidak terlalu jauh, jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Old Town.
Kami susuri jalan dari depan Katedral. Tinggal lurus aja menyebrangi jalan raya. Dan benar setelah 25 menit kami sampai di Embassy.
Ada bel di depan pintu. Cak Imam Mahmud spontan menekannya. Terdengar suara dari dalam: langsung masuk saja, pintu sudah dibuka!
Rupanya itu suara mbak Sasha, staf yang jaga di ruang depan. Tak lama muncul mbak Sonya. “Saya dari Yogya juga, Kulonprogo. Belum satu tahun bertugas di Zagreb. Belum lama kita pindah ke mari. Dulu kantor KBRI ada di kawasan sentral. Terimakasih sudah berkunjung ke sini,” ujarnya ramah.
KBRI Kroasia sangat sepi. Karena memang tak banyak warga Indonesia yang tinggal di sini. “Hanya ada satu mahasiswa yang ambil studi doktoral di sini. Yang banyak warga Indonesia yang punya suami atau isteri orang sini atau orang Indonesia yang sedang bekerja di sini,” jelas Mas Henry Soratangsu, Head of Protocol & Consular Affairs KBRi yang ikutan nimbrung beberapa saat kemudian.
Pendek kata semua staf KBRI menyambut kami dengan hangat. “Silakan isi tumbler kalian dengan air di galon itu. Buat bekal di jalan nanti. Soalnya di sini hanya ada itu. Nggak ada nasi pecel apalagi gudeg,” candanya.
Setelah puas berbincang dan berpoto-poto selfie di KBRi, kami pamit. Bang Husin Csm langsung ambil inisiatif menyebrang jalan dan beli tiket trem.
“Kita langsung ke masjid Jamik Zagreb ya. Naik trem no 8, delapan stop kita turun di Folnegovicevo. Tinggal jalan 300m ke jalan Gavellina no 40 udah sampai masjid. Kita makan di restoran Turkey di sana. Pas waktu zuhur nanti kita sampai,” tandasnya.
Setelah kenyang makan lamb and rice, kami bertiga segera masuk masjid. Sholat jamak qosor, dan seperti tradisi kalau di kampung sendiri. Kita langsung ndlosor. Numpang tidur sejenak dan numpang ngecas HP. Lega rasanya.
Di Zagreb, hanya ada satu maajid besar. Minaret yang tinggi menjadi pertanda masjid ini dibangun oleh komunitas muslim Turkey. Hanya ada 2% muslim dari total jumlah penduduk Kroasia yang berjumlah lima juta orang. Sebagian besar menganut agama Kristen Advent. Sebagian kecil ikut Katolik Rhoma. Mata uang yang berlaku adalah Kuma. Meskipun pembayaran dengan Euro juga diterima.
Ke mana kami harus berjalan lagi setelah dari Kroasia? Apakah ke Serbia, ataukah langsung ke Bosnia? Ataukah balik arah menuju Italia? Kami belum memutuskan.
“Nanti aja kalau sudah sampai stasiun adanya tiket yang tersedia ke arah yang mana, ya itu yang kita beli dan langsung berangkat aja. Namanya backpacker, apa kata nanti saja. Belum sampai stasiun kok mikir. Mikir itu nanti, bukan nanti bagaimana dipikir sekarang. Dibikin simpel aka po o,” ujar Cak Imam santai.