Salah satu yang sangat menyenangkan ketika kita terlibat dalam arus mudik lebaran adalah kita bisa ketemu dengan teman-teman kita yang sudah lama tidak ketemu.
Ada yang tidak ketemu satu atau dua tahun. Ada yang tidak ketemu sepuluh tahun. Bahkan ada yang ketemu dengan teman yang sudah tak bertemu lagi selama dua puluh tahun. Sejak SMP dia ikut orang tuanya pindah tugas di luar Jawa dan baru ketemu saat reunian pas hari raya.
Tentu ada banyak cerita-cerita seru dalam pertemuan reunian yang dipaskan dengan waktu mudik lebaran itu. Tapi tak sedikit pula terdengar cerita-cerita sendu, bahkan cerita kelam dari perjalanan hidup seseorang.
Salah satu yang mungkin sering kita dengar adalah keluhan tentang ruwetnya hidup mereka karena menumpuknya hutang yang harus ditanggung yang bahkan serasa tidak bisa keluar dari beban hutangnya yang sudah bertahun-tahun.
Lantas mereka ini bertanya atau minta saran, bagaimana solusinya? Bahkab ada yang terang-terangan meminta bolehkah pinjam uang dahulu untuk menutup hutang-hutang itu? Ada yang memang sekedar ingin cerita saja agar bisa lega tanpa minta bantuan apa pun?
Bagaimana sikap kita seharusnya jika mendapatkan curhatan teman lama yang mengalami problem semacam itu?
#Terjebak dalam Pusaran Hutang
Pada umumnya yang mengeluhkan soal hutangnya ini adalah mereka yang sudah tak kuat lagi berada dalam jeratan hutangnya yang bertumpuk dan tak selesai-selesai. Dan sudah tidak bisa berpikir lagi harus bagaimana mencari jalan keluarnya agar bisa segera terlepas dari jebakan hutangnya.
Itukah sebabnya saya mau tuliskan di sini. Karena dalam dua hari ini saya sudah ketemu dan disambati teman-teman yang ketemu saat mudik ini dengan problem yang sama: Hutang yang tak lekas bisa dibayar. Hanya angka-angkanya saja yang berbeda-beda. Maka cara menjawabnya saya mau tuliskan saja, biar nanti kalau ada yang bertanya lagi, biar saya arahkan saja untuk baca. Simpel.
Saya mulai dari faktor penyebabnya karena dari situ akan tersirat solusinya.
Pertama, Menunda Membayar Hutang Ketika Sudah Ada Uang. Pola ini yang paling banyak terjadi. Sebenarnya mereka sudah punya uang untuk bisa membayar uang itu. Tapi lagi-lagi godaan itu datang. Uang yang seharusnya sudah mengalir ke yang berhak, tertunda alirannya, tertunda lagi untuk pembayaran hutangnya.
Alasannya bisa macam-macam. Bisa tiba-tiba terlintas pikiran: entar aja deh. Pakai dulu untuk yang lain yang lebih mendesak sekarang. Bisa pula tiba-tiba terlintas di pikiran: kan belum ditagih, jadi masih bisa diputer dulu uangnya. Bahkan bisa juga terlintas di pikiran: kayaknya yang punya duit lagi banyak rezekinya, bisnisnya lagi moncer, kayaknya lagi nggak butuh duit saat ini nih. Jadi, pakai aja dulu duitnya, dibalikinnya nanti-nanti aja kalau sudah pas waktunya.
Percayalah, kalau pola itu diteruskan, sampai kapan pun hutang itu tidak akan pernah sanggup terbayar. Seperti pusaran angin, ia akan berputar-putar saja seperti memasuki labirin panjang nan gelap. Tidak berujung. Tidak akan selesai. Tidak akan lunas.
Kenapa bisa begitu?
Paling pas ini dijelaskan dengan teori Vibrasi. Apakah itu? Intinya adalah apapun yang terjadi dalam hidup kita sebetulnya hanyalah cermin vibrasi kita sendiri.
Vibrasi adalah pantulan rasa kita. Dalam bahasa agama bisa disebut dengan niat sesungguhnya di dalam hati. Dalam bahasa yang lain mungkin bisa disebut motif. Jadi sifatnya di dalam, tidak tampak, yang bisa jadi sangat jauh berkebalikan dengan ucapan dan perilaku.
Kita sebetulnya memantulkan apa apa yang kita rasakan. Dan apa yang terjadi hanyalah pantulan dari vibrasi kita itu. Jadi, ibarat cermin, yang tampak di sana dan di sini sebetulnya sama.
Hidup kita ini terhubung dengan semesta. Apa yang kita lakukan terpantul ke semesta. Getaranya. Vibrasinya. Rasa yang terpancarnya. Dan sebaliknya, semesta akan memantulkan kembali kepada diri kita. Seperti cermin. Seperti gelombang air, riaknya akan balik lagi ke tempat asalnya gelombang itu bermula. Dengan pemahaman seperti itu, kita bisa katakan, kita sebagai manusia ini sesungguhnya hanya menciptakan kejadiannya sendiri, nasibnya, takdirnya sendiri, berdasarkan pantulan vibrasi yang intensif dipancarkan.
Maksudnya gimana?
Ketika orang menunda membayar hutangnya, sebetulnya secara Vibrasi ia sedang mengirimkam sinyal ke semesta dengan kalimat pesan tersirat: aku nggak punya uang, aku nggak mampu membayar, aku masih tetap susah, rezekiku masih seret, dan aku masih miskin….
Maka pancaran sinyal ke semesta dengan pesan negatif itu akan memantul balik ke dirinya. Saat menunda, yang terpancar ke semesta adalah vibrasi negatif dan yang akan terpancar balik ke dirinya adalah vibrasi neagtif juga. Semesta hanya mengiayakan apa yang dipancarkan. Semesta akan mengokekan. Seolah-olah akan bicara: oke, berarti takdirmu nggak mampu ya, berarti kamu miskin ya, berarti kamu susah terus ya, berarti kamu seret rezeki ya, berarti kamu memang tidak ingin keluar dari bebanmu ya.
Jadi, soal melunasi hutang itu sesungguhnya bukan sekedar soal teknis membayar hutangnya semata. Yakni, asal ada uangnya berarti hutangnya akan beres. Makanya banyak yang mikirnya pendek, pinjami aku duit dong biar untuk nutup utang yang lama, ntar duitmu juga kucicil tiap bulan deh.
Bukan begitu. Ada yang lebih inti dari itu. Yakni vibrasi yang dipancarkan bagaimana. Percuma saja diajari teknik-teknik membayar hutangnya, termasuk lanjutannya teknis-teknis memulai bisnis dengan segala strateginya agar selalu panen untung, kalau dari “dalamnya” ini tidak dibenahi dulu. Karena yang “diluar” itu terjadi karena yang “didalam”. Kalau dalamnya belum diberesin makanya luarnya akan terus ruwet.
Vibrasi ini dikaitkan dengan hukum kekelan energi.