Sudah seminggu lebih rumah saya yang di seberang bandara ini dikunjungi tamu. Bertubi-tubi. Dari banyak kota. Bahkan ketika saya ada di luar kota. Tamu keluar masuk datang dan pergi.
Mengapa bisa begitu? Ya karena saya tak pernah mengunci rumah. Tidak ada pagar. Tidak dikunci juga. Dan siapa saja bisa masuk. Pas saya ada di rumah maupun pas saya tidak ada di rumah. Itulah sebabnya siapa pun yang mendarat di bandara depan rumah, bisa jalan kaki dan langsung rebahan di kamar yang disukainya. Mau yang ada kasurnya atau kamar yang hanya tergelar kasur saja. Bebas!
Seorang teman pernah datang. Dan terkaget-kaget, rumahnya sekecil ini? Kenapa nggak cari yang gede sekalian? Apa karena nggak mampu beli?
Bukan sekali saja pertanyaan itu terlontar. Sudah beberapa orang yang bertanya dengan redaksi kurang lebih sama!
Lalu bagaimana menjawabnya?
Saya biasanya membuat ilustrasi tentang rumah besar dan rumah lapang!
Apakah itu?
Rumah besar adalah rumah yang bentuknya besar. Tapi belum tentu bisa menerima tamu, apalagi dalam jumlah besar. Malah kadang ditulisi papan: awas anjing galak! Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!
Rumah lapang adalah rumah yang mungkin bentuknya tak besar tapi bisa menampung tamu yang banyak. Berpuluh-puluh orang bisa datang. Yang lagi senang, yang lagi sedih, yang lagi punya masalah. Semua mencari rumah itu. Masuk menjadi adem. Dan ketika pulang, hatinya menjadi lapang. Dari diskusi satu dua jam merasa sudah menemukan solusi yang dibutuhkan.
Tinggal pilihan pada kita sendiri. Mau punya rumah besar atau rumah lapang!
Pengen rumahnya bersih dari apa pun termasuk bersih dari tamu. Atau menjadi rumah yang selalu tak bersih karena setiap hari tamu datang dan pergi.
Tak jauh dari rumah saya, sering saya tunjukkan pada mereka yang bertanya. Itu ada rumah kayak gedong bioskop. Tapi, pemiliknya hanya dua atau tiga kali setahun mendatanginya. Yang jaga setiap hari hanya pembantunya. Rumah besar itu lebih mirip kuburan. Tak bermanfaat. Bukan hanya buat orang lain, bahkan untuk pemiliknya sendiri pun tidak bermanfaat. Dan rumah yang seperti kuburan adalah rumah yang jauh dari keberkahan.
Di sisi lain saya juga menunjukkan rumah satu orang kyai di ujung pelosok Yogyakarta, yang kecil dan sederhana. Tapi rumah kecilnya itu didatangi oleh puluhan hingga ratusan orang setiap hari. Dari yang sekedar ingin bertemu, konsultasi masalahnya, minta bantuan yang sekiranya pak kyai bisa bantu, hingga yang mau curhat dan mau cari solusi atas masalah yang sedang dihadapinya. Bahkan caleg-caleg juga banyak yang datang minta nasehatnya.
Di mana posisi saya?
Saya dari dulu memang tak pernah punya keinginan punya rumah besar. Sebagai traveler impian saya sederhana, pengen rumah yang dekat bandara karena berhubungan dengan hobi traveling saya. Selain itu teman-teman backpacker yang datang dari kota mana pun atau negara mana pun begitu mendarat agar bisa langsung melangkah ke rumah buat mandi, rebahan sejenak, atau menginap berhari-hari. Sampai urusan mereka selesai. Kalau butuh jalan sendiri, ada motor atau mobil yang bisa dipakai jalan kapan saja.
Saya hanya pengen rumah lapang. Bukan rumah besar. Yang siapa saja bisa singgah. Apa pun kepentingannya. Sebagian besar yang datang ke rumah adalah teman-teman pengusaha, teman-teman traveling, dan teman-teman yang menderita penyakit yang ingin diantar ke Omah Balur NangguLan.
Saya ingin menjadikan rumahku adalah rumah yang dirindukan. Rumah yang sudah terbuka pintunya kapan saja. Bahkan sejak orangnya belum ada rencana untuk bertamu.
Seorang sahabat dari Surabaya bisa datang lima hingga enam kali setahun ke Yogya hanya untuk menginap semalam di rumah berbincang santai semalaman kemudian balik lagi ke Surabaya.
“Aku selalu merindukan rumah ini. Apalagi jika hati sedang gundah,” ujarnya memberi alasan.