Selama Ramadhan yang sunyi ini, salah satu kegiatan yang saya lakukan adalah memperbanyak silaturahmi. Bukan apa-apa, berdiam diri rumah buat saya yang ekstrovet begini adalah siksaan. Sangat membosankan dan sia-sia karena tidak mendapatkan insight yang berharga. Itu sebabnya hanya seminggu saya bertahan. Sehabis itu ya ucul lagi. Ngebolang kemana-mana bersilaturahmi.
Apa tidak takut dengan corona? Soal ini saya punya sikap tersendiri. Orang setuju atau tidak bodoh amat. Yang penting saya punya sikap atas pilihan sadar dan punya argumentasi yang cukup tentang itu. Buat saya pribadi, yang nggak punya penyakit serius sebelumnya, virus ini hanya virus kopet saja. Yang tidak punya hak untuk memenjara hidup saya dan menghambat saya untuk bergerak mencari sesuatu yang baru dan bermanfaat untuk hidup saya.
Malam lalu saya berangkat ke Salatiga. Pergi ke sahabat saya yang kini menjadi Kiai untuk sebuah pondok pesantren. Namanya Pesantren WALI, satu-satunya pesantren literasi kitab kuning di Jawa Tengah. Menemui KH Anies Maftuhin, yang alumni Gontor dan Al-Azhar. Yang empat tahun terakhir kembali ke kampungnya untuk berdakwah lewat jalur literasi.
Banyak sekali perbincangan yang kita lakukan sejak habis isyak hingga menjelang sahur itu. Saya yang darahnya Muhammadyah dan KH Anies yang NU tulen saling bertukar pendapat. Bukan sekarang saja, tapi sejak dua belas tahun yang lalu sudah begitu. Dari beliu jugalah saya akhirnya punya banyak sahabat NU lainnya dan berhubungan baik sampai sekarang. Secara pribadi kami bersahabat tapi secara pemikiran kami memang lebih serang “bertengkar” dalam banyak hal.
Setiap ketemu bukan sekedar kangen-kangenan. Tapi memanfaatkan waktu yang ada untuk saling menambah knowledge dan bertukar pengalaman. Saling membagi sesuatu yang dipunya agar bisa saling meluaskan wawasan maupun sekedar gagasan. Ada pertukaran ide, ada pertukaran cerita, ada pertukaran energi. Saling support tapi saling toleran.
Pesantren WALI yang fokus pada literasi kitab kuning adalah salah satu pertanyaan awal saya. Kenapa harus mempelajari lagi kitab kuning? Salah satu khazanah islam yang mungkin mulai banyak ditinggalkan oleh generasi milenial. Padahal itu adalah harta karun yang tak ternilai bagi umat Islam. Banyak hal yang terjadi sekarang ini ternyata kalau dirunut dari kitab kuning sudah pernah dibahas berlama-lama para ulama-ulama terdahulu dan kemudian menjadi karya yang monumental.
Inilah yang kembali dihidupkan. Orang bisa belajar lagi tentang kitab kuning. Yang berbeda adalah cara mempelajari dan memahaminya. Tidak lagi dengan metode lama. Tapi dengan metode baru yang lebih canggih dan lebih cepat. Mereka menyebut sebagai metode Tamyiz. Dan sudah teruji.
Dengan metode ini yang nggak bisa bahasa Arab sekalipun akan bisa dicetak dalam tempo singkat untuk bisa berbahasa Arab, membaca kitab kuning, mengartikannya, dan memahani maknanya. Tentu setelah menguasai kunci-kuncinya.
Rata-rata dalam 100 jam setiap santri yang belajar kitab kuning di Pesantren Wali sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Dua hari pertama diberikan basic bahasa arabnya. Tiga hari berikutnya baru masuk ke kitab kuningnya. Setelah itu tinggal menjaga dan mengembangkan skill yang telah dimiliki itu jangan sampai hilang.
“Program ini kami buka untuk siapa saja. Lintas usia. Dari anak muda sampai orang tua. Yang penting punya waktu minimal lima hari tinggal di sini. Mau makan dan tidur ala pesantren. Asal minimal ada sepuluh orang dalam satu angkatan, program bisa jalan. Cuma saat ada wabah corona ini program dihentikan dulu sementara waktu,” jelas Anies Maftuhin.
Perbincangan lain adalah tentang Mazhab Syafii yang menjadi pegangan mayoritas ulama di Indonesia. Kenapa bisa terjadi? Padahal, banyak mazhab yang lain. Bahkan di Mesir sana bukan hanya empat mazhab yang dikenal. Lebih dari tiga belas mazhab masih hidup dan dipraktekkan.
“Jawabannya mudah,” ujarnya. “Santri-santri yang dulu belajar agama ke Timur Tengah sanggupnya hanya beli kitab kuning yang tipis-tipis. Dan itu ada di Syafii. Jadi, alasannya ekonomi. Kalau punya ya tentu akan beli kitab-kitab dari mazhab-mazhab lain yang tebel-tebel itu. Makanya waktu pulang rujukannya rata-rata ya mazhab Syafii. Sebenarnya sesederhana itu.”
“Jadi, selalu ada teks dan konteks pada setiap peristiwa. Tidak bisa dibaca dari apa yang tampak saja. Makanya kalau ada pendapat-pendapat dari mazhab lain kadang kita gagap, kok beda ya. Tapi alhamdulillah, itu dulu, sekarang sudah berubah kondisinya. Ekonomi membaik dan santri-santri NU sudah bisa membeli kitab-kitab dari mazhab lainnya. Lebih terbuka. Tapi di sisi lain, justru saat kami terbuka ada sebagian orang yang malah memilih tertutup. Hanya mempelajari satu mazhab dan menganggapnya satu-satunya yang benar, sehingga dengan mudah membid’ahkan yang lain bahkan mengkafirkan orang lain yang sejak lahir sudah islam. Tapi, ya begitulah dinamika kehidupan, selalu mencari keseimbangannya,” jelasnya.
Akhir tahun ini pesantren WALi akan mempunyai lab multimedia. Ada peralatan lengkap di situ. Santri bisa belajar banyak tentang dunia digital. Dengan peralatan multimedia yang ada Pesantren Wali akan tiga langkah lebih maju lagi dalam dakwahnya.
Akan ada podcast tentang agama, termasuk kitab kuning di dalamnya. Ada film-film dokumentar tentang pesantren-pesantren di Jawa yang akan dibuat, agar generasi muda bisa memahami dunia pesantren sekaligus jejak sejarahnya. Ada pelatihan digital marketing untuk santri-santrinya yang mau lulus.
Di Pesantren Wali ini memang ada jenis santri. Yakni, santri yang menetap dan santri kalong. Santri kalong ini adalah santri yang sehabis kajian langsung balik ke rumahnya sendiri. Atau yang hanya ingin nyantri beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan saja.
“Pesantren itu tidak boleh menolak santri. Bahkan yang datang membawa badan saja karena sangat miskinnya. Kita tetap tampung karena kita meyakini itu kiriman Allah dan pasti Tuhan punya maksud saat mengirimkan santri ini ke pondok kami. Tidak banyak yang begitu, tapi ada. Ada juga yang ngalong bolong-bolong. Ada yang sangat serius. Ada yang iseng-iseng. Ada yang memang dibuang oleh lingkungannya. Macam-macamlah. Dan itu semua wajib bagi kami untuk ngopeni. Karena setiap orang pada dasarnya baik dan nanti bisa berbuat satu kebaikan dalam kehidupan,” tutup Kiai Anies bersamaan dengan hidangan yang sudah disiapkan para santri yang lalu mempersilahkan kami untuk segera makan sahur bareng.
Demikianlah, pergi semalaman untuk bersilaturahmi ke teman lama, membuat saya menjadi kenyang. Tujuh jam berbincang tidak saja membuat otak ini jadi kenyang, tapi sekalian perut jadi penuh karena hidungan yang berlimpah ruah. Ada paha ayam dan tempe gurih yang pas sesuai lidah saya.