Sabtu 9 Desember 2023 adalah hari yang tidak akan saya lupakan dari bagian sejarah hidup saya. Bagaimana tidak? Saya diberi “hadiah” istimewa oleh Kepala Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Masduki PhD, untuk memberikan kuliah umum kepada seratus mahasiswa komunikasi yang sedang mengikuti mata kuliah traveling jurnalisme.
“Saya ingin mereka mendapatkan wawasan langsung dari praktisi. Yang bisa menghubungkan antara aktivitas traveling dan jurnalistik. Jadi, saya memilih narasumber yang sudah punya jam terbang panjang dalam traveling tapi juga selalu menuliskan pengalaman perjalanannya di media sosial. Jadi, bukan sekedar selfi-selfi saja tapi ada kisah perjalanan yang dicatat dan dibagi ke publik yang bisa menjadi panduan atau informasi berharga bagi para traveler lainnya. Saya ingin anak-anak muda khususnya yang studinya di komunikasi atau jurnalistik bisa mengikuti jejak itu. Maka virusnya ini tolong disebar dulu ke mereka, ” ujar Prof Masduki saat saya berada di ruang dosen sebelum memasuki ruang kuliah yang sangat nyaman itu.
Selama dua jam saya berinteraksi aktif dengan para mahasiswa. Berhamburan pertanyaan soal traveling. Wajar karena ternyata 80% dari mahasiswa prodi ini sudah punya Paspor dan sudah pernah keluar negeri meski belum ada yang pernah jalan sendiri ala backpacker. Ketakutan-ketakutan yang ada dalam bayangan mereka jika melakukan traveling sendirian saya redam dengan beberapa tips dan trik praktis.
Seusai acara saya masih mendapatkan dua hadiah lagi dari Guru Besar UII yang baru dikukuhkan awal Desember 2023 itu. Yang pertama, diajak masuk ke Museum UII yang berada di gedung paling depan kampus. Di Museum UII ini terdapat banyak hal yang berkait dengan sejarah berdirinya kampus UII yang bermula dari STAI hingga akhirnya mempunyai Kampus Terpadu di Jalan Kaliurang Km 15 Yogyakarta.
Ada foto-foto para pendiri kampus UII masa awal, masa bertumbuh, dan masa eksis berjajar di dinding Musium berikut profil singkatnya. Ada banyak “manuskrip” yang dipamerkan termasuk bentuk ijazah pertama lulusan UII (STAI). Ada mesin ketik kuno yang dulu dipakai TU Kampus. Ada mesin cetak Toko yang dulu digunakan untuk menggandakan soal-soal ujian dan diktat dosen. Ada bangku-bangku lama dari kayu jati tua yang kondisinya masih sangat bagus. Dan sejumlah buku atau dokumen lainnya.
Dari Musium UII ini saya baru tahu kalau sejak dulu penulisan kata Yogya itu dituliskan “Jogjakarta”. Petugas Musium juga tidak bisa menjelaskan sejak kapan dan mengapa tulisan itu berubah menjadi Yogyakarta. Dan kampus pun sekarang menggunakan kata “Yogyakarta” untuk penulisan dokumen resminya.
Dari sini juga saya menjadi tahu bahwa kampus UII ini pernah punya “logo” lama sebelum berubah ke logo yang sekarang. Logo kampus UII yang awal pada tahun 1962 formatnya ada gambar masjidnya, bola dunia, menara, matahari, dan Kabah, yang menyimbolkan kerukunan antar Ormas Islam waktu itu: Masyumi, al-Irsyad, Muhammadiyah, NU, dan lainnya. Pada tahun 1977 logo itu berubah. Selain karena logo lama dianggap terlalu rumit, desain logo juga dianggap ketinggalan jaman sehingga dibuatlah logo dengan format baru yang lebih simple dan kekinian. Yang tetap sama tentu saja tulisan Universitas Islam Indonesia. Logo sekarang hanya berformat bunga dan garis abstrak yang secara sekilas tidak melambangkan ada unsur Islam di dalamnya kecuali setelah membaca tulisan Universitas Islam Indonesia dan tulisan Arab di bawahnya.
Di tengah peralihan logo itu, pada pertengahan tahun 70-an mahasiswa UII membuat logo dengan desain tersendiri yang berbeda dengan logo universitas. Logo itu dipakai secara resmi oleh mahasiswa dalam surat menyurat dalam aktivitas kemahasiswaan. Baik di internal kampus maupun ditujukan ke kampus lainnya, logo itu digunakan dalam kop maupun surat-surat yang mereka buat.
Hadiah terakhir yang diberikan untuk saya dari Pak Profesor yang gelar doktornya didapatkan dari Munich University Jerman ini adalah diajak beliau masuk ke situs Candi Kimpulan UII yang berada di bawah lokasi Musium UII. Sebetulnya akses ke candi ini sudah ditutup oleh petugas sesuai jam kerja petugas. Namun, berkat kebaikan hati dan lobi Pak Profesor akses candi bisa dibuka meski hanya setengah jam saja boleh mendekat dan berkeliling candi.
Oh ya, baik Museum UII maupun lokasi Candi Kimpulan ini boleh dikunjungi oleh masyarakat umum. Tentu saja sesuai jam kerja kampus, antara jam 09.00 hingga 16.00 WiB. Jadi bagi masyarakat yang ingin nanti memasukkan anaknya kuliah di UII bisa terlebih dahulu berkunjung ke Museum UII untuk mendapatkan gambaran yang utuh sejarah kampus UII sejak awal berdirinya di Kotagede, kemudian pindah ke Kotabaru, hingga akhirnya menempagi Kampus Terpadu di Jalan Kaliurang Km 15 Sleman Yogyakarta.
Terima kasih Prof Masduki atas kesempatan yang sangat indah ini. Harusnya saya yang memberikan kado atas pengukuhan sebagai guru besar beberapa hari lalu. Kok ini malah saya yang ketimpukan rezeki nomplok. Bisa “mengajar” di UII, bisa leluasa masuk ke museum yang dipandu oleh petugas yang ramah, dan masih diperbolehkan melihat-lihat candi bawah tanah pada jam ketika seharusnya kawasan ini sudah ditutup…
Sehat Sukses Bahagia selalu teruntuk semua sivitas akademika Universitas Islam Indonesia.
Salam Intelektual, Salam Backpacker!!!
NB: saya juga harus mengucapkan terima kasihdua mahasiswa Klatak University
Mas Hafidz Shidiq dan
Dwisa Putro yang setia menemani prosesi kuliah umum ini dari awal hingga akhir acara yang kemudian dilanjutkan berwisata intelektual ke Museum UII dan Candi Kimpulan.